Konteks Sosio-Historis Sebelum Turunnya al-Qur’an
(Studi
Literatur Buku History of The Arabs Karangan Phillip K. Hitti)
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi al-Qur’an dan Hadis: Teori dan
Metodologi
Dosen
Pengampu : Dr. H. Abdul Mustaqim, M. Ag
Oleh
Ana
Fitrotun Nisa
(1220420005)
PENDIDIKAN
GURU MADRASAH IBTIDAIYAH KONSENTRASI SAINS
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah
yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal
tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an Al-Karim,
bacaan yang sempurna lagi mulia.[1]
Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan
nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem
hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa
kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.[2]
Dalam
hukum ketiga Newton disebutkan bahwa: ”Jika benda A memberikan gaya ada benda B
(aksi), maka benda B akan memberikan gaya pada benda A (reaksi). Kedua gaya ini
memiliki besar yang sama tetapi arah yang berlawanan. Kedua gaya ini bekerja
pada benda yang berbeda”. Pada pernyataan ini, “aksi” dan “reaksi” merupakan
dua gaya yang berlawanan; kadang-kadang kita menghubungkannya sebagai pasangan
aksi reaksi (action-reaction pair).[3]
Hukum
ketiga Newton di atas menyebutkan bahwa dimana ada aksi pasti ada reaksi.
Begitu juga dengan asal muasal turunnya al-Qur’an, Allah menurunkan al-Qur’an
bukanlah suatu hal yang kebetulan. Tetapi semua ini telah dirancang sedemikian
rupa dengan proses yang telah diatur dengan sempurna pula. Turunnya al-Qur’an
merupakan reaksi dari Allah atas aksi-aksi yang dilakukan oleh umat manusia di
muka bumi ini. Aksi tersebut tergambar pada sejarah Arab pra–Islam atau sebelum
turunnya al-Qur’an. Masa ini dikenal dengan masa Jahiliah. Ketika itu,
masyarakat Arab banyak yang menyembah berhala, menyembah dewa-dewa, menyukai
pertikaian antarsuku, banyaknya persengketaan, serta perampokan merajalela
dimana-mana. Dari aksi-aksi tersebut di atas, maka Allah menurunkan al-Qur’an
agar dijadikan sebagai petunjuk bagi kaum Muslim di dunia ini dalam menghadapi
problem hidup, kemasyarakatan, peribadatan dan berbagai aspek lainnya.
Dalam
makalah ini, penulis akan fokus membahas tentang sosio-historis masyarakat Arab
sebelum turunnya al-Qur’an secara lebih detail dari aspek keagamaan atau
kepercayaan yang dianut bangsa Arab sebelum turunnya al-Qur’an, sosial budaya,
bahasa, dan lain sebagainya yang ada pada masa sebelum turunnya al-Qur’an. Dan
penulis membatasi pembahasanya sampai datangnnya agama Islam di Arab.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana
kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Arab sebelum turunnya
al-Qur’an?
2. Bagaimana
keadaan sosial budaya yang terjadi di masyarakat Arab sebelum turunnya
al-Qur’an?
3. Bagaimana
perkembangan bahasa yang terjadi di Arab sebelum turunnya al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui
kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Arab sebelum turunnya
al-Qur’an.
2. Mengetahui
keadaan sosial budaya yang terjadi di masyarakat Arab sebelum turunnya
al-Qur’an.
3. Mengetahui
perkembangan bahasa yang terjadi di Arab sebelum turunnya al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya al-Qur’an
Arab yang terletak di persimpangan tiga benua semenanjung Arab, menjadi
tempat yang sangat mudah dikenal di dunia internasional. Jazirah ini dibatasi
oleh Laut merah ke sebelah barat, teluk Persia ke sebelah timur, Lautan India
ke sebelah selatan dan Suriah dan Mesopotamia ke sebelah utara.[4]
Sebagai tempat kelahiran rumpun Semit, Semenanjung
Arab menjadi tempat menetap orang-orang yang kemudian bermigrasi ke wilayah
Bulan Sabit Subur (wilayah Timur Tengah yang membentang dari Israel hingga
teluk Persia termasuk di dalamnya sungai Tigris dan Efrat di Irak sekarang),
yang kelak dikenal dalam sejarah sebagai bangsa Babilonia, Assyria, Phoenisia,
dan Ibrani. Sebagai tempat munculnya tradisi Semit Sejati, wilayah gurun pasir
Arab merupakan tempat lahirnya tradisi Yahudi, dan kemudian Kristen yang secara
bersama-sama membentuk karakteristik rumpun Semit yang telah dikenal baik.[5]
Kondisi masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an
sering disebut dengan masa Jahiliah. Istilah Jahiliah, yang biasa diartikan
sebagai “masa kebodohan” atau “kehidupan barbar”, sebenarnya berarti bahwa
ketika itu orang-orang Arab tidak memiliki otoritas hukum, nabi, dan kitab
suci. Pengertian ini dipilih karena kita tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat
arab yang berbudaya dan mampu baca tulis seperti masyarakat Arab Selatan
disebut sebagai masyarakat bodoh dan barbar.[6] Mengenai
keadaan masyarakat Arab Selatan akan dibahas lebih mendalam pada sub bab
berikutnya.
1. Agama dan Kepercayaan
Semenanjung
Arab merupakan tempat kelahiran rumpun Semit. Istilah Semit berasal dari
kata syem yang tertera pada Perjanjian Lama (Kitab Kejadian, 10:1)
Penjelasan tradisional yang menyebutkan bahwa rumpun bangsa Semit adalah
keturunan anak-Nuh yang tertua.[7]
Masyarakat pada masa kehidupan Badui
banyak yang hidup nomaden. Kondisi alam, dan pola hubungan antara masyarakat
yang terjalin sangat mempengaruhi pemikiran dan gagasan mereka tentang Tuhan,
agama, dan spiritualitas. Dasar-dasar agama-agama Semit berkembang di
oasis-oasis, bukan di daratan berpasir, dan berpusat di wilayah yang berbatu
dan bermata air, dalam Islam diwakili dengan simbol Hajar Aswad dan sumur
Zamzam, serta dengan Bethel dalam Perjanjian lama.[8]
Jadi
agama pertama yang ada di Semenanjung Arab adalah agama Semit, meskipun lambat
laun kata Semit ini berubah arti menjadi bukan agama. Agama ini telah memiliki
pusat seperti agama-agama pada masa kini. Bisa di katakan pemusatan-pemusatan
atau simbol-simbol yang ada dalam agama saat ini adalah warisan dari suku
Semit.
Suku
berikutnya adalah suku Ibrani. Antara 1500 – 1200 SM, bangsa Ibrani berhasil
menemukan jalan ke Suriah bagian selatan, palestina dan bangsa Aramia
(orang-orang Suriah) ke sebelah utara, terutama Coele-Suriah (Dataran rendah
Suriah, al-Biqa’ modern, terletak antara dua Libanon). Diantara bangsa-bangsa
lain, bangsa Ibrain merupakan bangsa pertama yang memperkenalkan gagasan yang
jelas tentang satu Tuhan, dan monoteismenya merupakan cikal bakal keyakinan
orang Kristen dan Islam.[9] Sekitar
1225 SM suku Ibrani melakukan perjalanan dari Mesir menuju Palestina. Suku
Ibrani (Rachel) menetap untuk sementara di Sinai dan Nufud selama kurang lebih
40 tahun. Musa (Kepala suku Ibrani) menikah dengan seorang wanita arab, anak
perempuan seorang pendeta Madyan, penyembah Yehwah yang memerintahkan Musa
untuk menyebarkan agama baru. Yahu (Yehwen – Jehovah) sepertinya
merupakan Tuhan suku Madyan atau penduduk Arab Utara. Ia adalah Tuhan orang-orang
gurun, sederhana namun tegas. Ia bertempat tinggal di sebuah tenda dan
ritualnya sama sekali tidak rumit. Sesembahannya berupa makanan dan kurban
binatang gurun serta sesajen yang dibakar ditengah-tengah binatang ternak.[10]
Pada
masa kerajaan Himyar, agama di Arab Selatan pada dasarnya adalah sebuah sistem
perbintangan yang memuja dan menyembah dewa bulan. Bulan yang disebut
Sin oleh orang-orang di Hadramaut, Wadd (Cinta atau pecinta, atau ayah) oleh
orang-orang Minea, Almaqah (Tuhan pemberi kesehatan) oleh orang-orang Saba,
‘Amm (paman dari jalur Ayah) oleh orang-orang Qataban, merupakan simbol paling
sakral yang di puja di kuil mereka. Bulan dianggap sebagai dewa laki-laki dan
kedudukannya lebih tinggi dari matahari, Syams, yang merupakan
pasangannya. ‘Atstar (Venus mirip dengan Tuhan perempuan orang Babilonia, yaitu
Isytar, atau ‘Asytart menurut orang-orang Phoenisia), anak-anak mereka
adalah anggota ketiga dari tiga
serangkai itu. Dari pasangan benda langit ini lahir benda-benda langit lain
yang dianggap sebagai Tuhan. Tuhan orang-orang Arab Utara, al-Lat yang
disebutkan dalam al-Qur’an mungkin merupakan nama lain dari Tuhan Matahari.[11] Saat
kerajaan Himyar kedua, salah satu Rajanya yang bernama Abu Karib As’ad Kamil,
atau Abi Kariba As’ad (sekitar 385 – 420 M) yang diriwayatkan telah menaklukkan
Persia dan kemudian memeluk agama Yahudi. Periode Himyar yang terakhir
ini ditandai dengan diperkenalkannya agama Yahudi dan Kristen ke Yaman.[12]
Tradisi
kepercayaan menyembah dewa ini dapat dikatakan sebagai wujud rasa syukur mereka
kepada kesehatan yang diberikan untuk tuhan pemberi kesehatan, rasa syukut atas
sinar matahari yang diberikan untuk tuhan matahari, rasa syukur atas tumbuh
suburnya tanaman anggur untuk Tuhan Anggur, dan Tuhan-tuhan lainnya. Ini
dilakukan sebelum mereka menyadari bahwa Tuhan pencipta alam semesta ini
hanyalah satu atau Esa, yaitu Allah SWT.
Agama
Kristen mazhab Monofisit (bahwa Isa memiliki sifat tunggal yang tidak bisa
dipisahkan, yaitu ia mengandung unsur Tuhan sekaligus unsur Manusia)
perlahan-lahan mulai terdesak di utara, terutama di Suriah, pada masa-masa
paling awal. Duta Kristen pertama ke Arab Selatan sepanjang yang kita baca
diutus oleh Raja Constantius pada 356 dibawah pimpinan Theophilus Indus,
seorang Aria, Theophilus berhasil membangun sebuah gereja di ‘Adan (Aden) dan
dua gereja lainnya di daerah Himyar. Najran, yang mulai mengenal agama Kristen
Madzab Monofisit yang dibawa oleh seorang pendakwah dari Suriah bernama
Taymiyun (Phemion), memeluk agama baru ini di sekitar 500 Masehi.[13]
Kristen
monofisit ini merupakan agama kristen pertama yang ada di Arab, yang memiliki
keyakinan adanya Tuhan. Tetapi Tuhan mereka masih berbentuk manusia. Mereka
menganggap bahwa Isa memiliki sifat tunggal yang orang lain tidak memilikinya
sehingga mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka adalah Isa.
Keadaan
Hijaz menjelang kelahiran Islam dijelaskan bahwa tahap pemujaan terhadap
benda-benda langit muncul sejak lama. Al-‘uzza, al-lat dan Manat – tiga anak
perempuan Allah- memiliki tempat pemujaannya masing-masing yang di sakralkan di
daerah yang kemudian menjadi tempat kelahiran Islam.[14] Karena
keinginannya yang kuat untuk memalingkan masyarakat dari gagasan-gagasan
keagamaan pra – Islam, terutama tentang penyembahan berhala, Muhammad yang
menganut paham monoteisme akhirnya mendeklarasikan bahwa agama baru yang ia
bawa menghapus semua agama sebelumnya. Belakangan, hal itu dimaknai sebagai
bentuk larangan terhadap gagasan dan cita-cita pra-Islam. Meski demikian,
gagasan-gagasan yang sudah tumbuh tidak mudah untuk dihilangkan, dan satu suara
saja tidak cukup kuat untuk menghilangkan masa lalu.[15] Agama
yang dianut oleh orang Arab, setelah agama Yunani dan Kristen adalah Islam.
Dari
deskripsi diatas, dapat kita simpulkan bahwa agama yang cinta akan perdamaian
adalah agama Islam. Islam tidak mencintai kekerasan apalagi pertikaian seperti
agama lain yang telah didiskripsikan diatas. Islam menghargai perbedaan
pendapat, perbedaan faham dan kepercayaan, dan tidak memusuhi orang yang
berbeda pandangan. Begitulah keadaan masyarakat sebelum datangnya Islam
terlebih sebelum di turunkannya al-Qur’an.
2.
Sosial
– Budaya
Orang-orang
Badui nomaden dikenal sebagai para perampok darat atau makelar,
atau keduanya sekaligus. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka
sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[16] Mereka
enggan mengikuti pengaruh cara hidup asing; memilih untuk bertahan tinggal di
tenda bulu domba atau bulu unta, dan menggembala domba atau kambing mereka
dengan cara yang sama di padang rumput yang sama. Pembiakan domba, unta, kuda,
berburu dan menyergap merupakan pekerjaan utama mereka, dan bagi mereka
dianggap sebagai satu-satunya pekerjaan terhormat bagi kaum laki-laki.
Pertanian, juga semua bentuk perdagangan dan kerajinan tangan dianggap akan
menurunkan derajat mereka. Jika, dan ketika tidak lagi terikat pada lingkungan
sekitar, mereka tidak lagi disebut sebagai orang nomad. Di wilayah Bulan Sabit
Subur, berbagai kerajaan muncul dan tenggelam silih berganti, tetapi di gurun
pasir yang tandus orang-orang badui masih tetap sama.[17]
Salah
satu fenomena penting yang dimunculkan oleh pola relasi antar-suku di kawasan
Semenanjung arab adalah maraknya peristiwa pembegalan, atau perampokan
terhadap kafilah, atau perkemahan suku lain. Ghazw (serbuan kilat, atau
razia), bila tidak dipandang sebagai organisasi bandit liar, dibentuk
berdasarkan kondisi sosial-ekonomi kehidupan gurun hingga menjadi semacam
institusi sosial. Razia dan perompakan merupakan fondasi struktur ekonomi
masyarakat badui penggembala. Di kawasan gurun pasir, tempat semangat peperangan
dianggap sebagai kondisi mental yang kronis, serangan kilat merupakan salah
satu dari beberapa pekerjaan laki-laki. Suku-suku Kristen, seperti Bani
Taghlib, juga mempraktikkan kebiasaan itu secara terang-terangan. Seorang
penyair pada masa Umayyah, al-Qutaami, mengungkapkan prinsip yang menuntun
kehidupan semacam itu dalam dua bait syairnya: “Pekerjaan kita adalah menyerang
musuh, tetangga dan saudara kita sendiri, jika kita tidak menemukan orang lain
untuk kita serang kecuali saudara kita sendiri”.[18]
Kuatnya
semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu jenis semangat yang dikenal
dengan sebutan ‘ashabiyyah (semangat kesukuan). Ia mengisyaratkan
loyaitas suka rela dan tanpa syarat kepada anggota sukunya dab secara umum
mirip dengan partiotisme yang bersifat fanatik san chauvanistik. “Setialah
kepada suku kalian” ucap seorang penyair, “pengakuan kepada para anggotanya
cukup kuat sehingga dapat memaksa seorang suami menyerahkan istrinya.
Partikularisme yang tumbuh kokoh dalam suku ini, ketika sikap individualisme
setiap anggota suku diagungkan, memandang bahwa suku merupakan unit yang
berdiri sendiri, swasembada dan absolut, serta memandang suku lainnya sebagai
mangsa dan sasaran yang sah untuk dihina dan dibunuh.[19]
Seorang
wanita badui, pada masa islam atau pra-Islam, menikmati kebebasan yang lebih
luas daripada sesamanya yang tinggal di perkotaan. Ia hidup dalam sebuah
keluarga yang mempraktikkan poligami dan sistem perkawinan yang memuja
laki-laki-setiap laki-laki merupakan tuan- tapi ia tetap bebas memilih calon
suaminya dan meninggalkannya jika diperlakukan tidak patut.[20]
Inilah
fenomena yang dikatakan sebagai masa jahiliah, karena mereka melakukan
kemaksiatan dimana-mana seperti yang telah disabdakan Allah dalam QS. Al-
Ahzab: 33 yang berbunyi:
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ wur Æô_§y9s? yly9s? Ïp¨Î=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# úüÏ?#uäur no4q2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ßÌã ª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# @÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãur #ZÎgôÜs? ÇÌÌÈ
Artinya: “(33).
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217] dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [1215] Maksudnya: isteri-isteri
Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan
oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.[1216] Yang
dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum
Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah
kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam. [1217] Ahlul bait di
sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah SAW.
Dalam
ayat di atas Allah menggambarkan bahwa tingkah laku orang-orang pada masa
Jahiliah adalah buruk, sehingga Allah melarang kita untuk mengikutinya. Mereka
yang tidak melakukan Sholat, tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, melakukan
kemaksiatan suka berhias diri, dan tidak melakukan zakat. Dan Allah tidak
menyukai perbuatan-perbuatan yang tersebut di atas, namun Allah Maha Pemurah,
yang selalu dapat memaafkan dosa-dosa hambanya jika mereka benar-benar
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh Allah
tersebut.
Menurut
Strabo dalam Phillip K. Hitti mengisahkan bahwa di Arab selatan praktik
poliandri – sejumlah saudara laki-laki menikahi seorang wanita yang sama-
merupakan fenomena umum, bahwa penduduknya terbiasa menikah dengan keluarga
dekat, dan bahwa mereka memuliakan saudara tertua- setiap orang tertua akan
menjadi pemimpin. [21]
Salah
satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah
apa yang dikenal dengan sebutan “Hari-hari orang Arab” (ayyam al – Arab).
Ayyam al – Arab merujuk pada permusuhan antarsuku yang secara umum muncul
akibat perkengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan
seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan
lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang
syair yang penuh kecam diantara para penyair yang berperan sebagai juru bicara
setiap pihak yang bersengketa. [22]
Untuk
bidang budaya, dimulai sekitar 3500 SM, bangsa Semit melakukan migrasi
mengikuti rute ini, atau mengambil rute ke utara menuju Afrika Utara. Di sana
mereka bercampur dengan penduduk Hamit yang lebih dulu tinggal di Mesir. Dari
percampuran ini lahir bangsa Mesir. Mereka ini lah yang pertama kali membangun
hunian dari batu dan mengembangkan sistem kalender matahari. Migrasi serupa
juga mengarah ke utara dan membangun basis hunian di lembah Tigris- Efrat, yang
sudah lebih dulu dihuni oleh masyarakat berperadaban tinggi, yaitu bangsa
Sumeria. Bangsa Semit tiba di lembah tersebut sebagai bangsa nomad barbar, tapi
kemudian belajar dari bangsa Sumeria, pendiri peradaban sungai Efrat, bagaimana
cara membangun dan tinggal dirumah, bagaimana cara mengairi tanah, dan paling
penting, bagaimana cara menulis. Bangsa Sumeria adalah bangsa non Semit.
Campuran kedua ras itulah yang melahirkan bangsa Babilonia, yang bersama-sama
bangsa Mesir telah meletakkan formasi kebudayaan manusia. Di antara
penemuan-penemuan lainnya, bangsa Babilonia telah mewariskan kepada kita
struktur lengkungan (arch) dan lorong (vault), kereta beroda,
serta sistem timbangan dan ukuran.[23]
Orang-orang
Phoenisia adalah bangsa pertama yang menyebarkan sistem penulisan dengan huruf,
yang terdiri atas 33 simbol. Satu penemuan terbesar umat manusia.[24] Bangsa Arab memasukkan ke dalam ajaran,
bahasa, dan bahkan postur tubuh mereka berbagai unsur asing, termasuk budaya
Yunani, Romawi, Anglo-Saxon, ata Rusia. Mereka juga menyerap dan memadukan
beragam unsur budaya Yunani – Romawi; berperan sebagai pembawa gerakan
intelektual ke Eropa abad Pertengahan yang memicu kebangkitan dunia Barat dan
melapangkan jalan bagi proses modernisasi di dunia Barat. [25]
Bada
abad ketiga Masehi, tulisan kursif orang-orang Nabasia, yang berasal dari
bahasa Aramaik, berkembang menjadi tulisan Arab Utara, yaitu tulisan bahasa
Arab al- Qur’an dan bahasa Arab yang dikenal hari ini. Lebih khususu lagi
tulisan ini berkembang menjadi bentuk tulisan Naskh yang bulat-bulat,
berbeda dengan tulisan Kufi – diambil dari kata Kufah- yang kubis dan
kaku. Gaya tulisan Kufi secara khusus pernah menjadi model penulisan al-Qur’an,
dokumen resmi, monumen serta tulisan pada mata uang terdahulu. Salah satu
tulisan Arab tertua adalah tulisan yang terdapat di Namarah, sebelah selatan
Hauran, yang berasal dari 328 M, yang ditulis di atas batu nisan Imru’ al
–Qays, seorang raja Lakhmi dari Hirah.[26]
Semenanjung
Sinai, yang berdekatan dengan tanah air orang-orang Nabasia dan tempat turunnya
Sepuluh Perintah Tuhan, pada tahun-tahun belakangan menghasilkan tulisan
alfabetis, mungkin yang tertua yang pernah kita temukan. Tulisan-tulisan itu
ditemukan di Sarabith al – Khadim dan dibawa ke Musium Kairo.[27]
Orang
Arab tidak menciptakan dan mengembangkan sendiri sebuah bentuk kesenian besar.
Watak seni mereka dituangkan kedalam satu media: ungkapan. Jika orang-orang Yunani
mengungkapkan daya seninya terutama dalam bentuk patung dan arsitektur,
orang-orang arab menuangkannya dalam bentuk-bentuk syair (qashidah) dan orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu
keagamaan (psalm), sebuah bentuk ungkapan estetis yang lebih halus.
“Keelokan seseorang” demikian menurut meribahasa Arab “terletak pada kefasihan
lidahnya”. “kebijaksanaan” menurut peribahasa yang muncul belakangan, “muncul
dalam tiga hal: otak orang Prancis, tangan orang China, dan lidah orang Arab”.
Kefasihan yaitu kemampuan untuk mengungkapkan jatidiri secara tegas dan elegan
dalam bentuk prosa dan puisi, berikut kemampuan memanah dan menggunakan kuda
pada masa Jahiliah dipandang sebagai tiga ciri utama “manusia sempurna” (al
– Kamil).[28]
Kesenian-kesenian
inilah yang kemudian di bawa oleh para pedagang Arab yang melakukan perdagangan
sampai ke Indonesia. Bentuk-bentuk syair indah yang disebut juga qasidah yang hingga saat ini menjadi icon bagi umat
Muslim Indonesia yang sering di lantunkan oleh kaum muslim di surau-surau,
pondok pesatren, mushola, bahkan di masjid-masjid besar.
Jazirah
arab di masa pra kenabian Muhammad adalah wilayah tandus namun mempunyai
dinamika ekonomi yang kompleks. Kehidupan ekonomi yang dimotori oleh praktik
perdagangan, membawa potensi masalah baru bagi peradaban itu. Minimnya sumber
daya alam pada waktu itu membuat ptaktik ekonomi kotor menjadi tradisi dan
kebiasaan masyarakat, dan bahkan dianggap sebagai hukum sosial ekonomi, seperti
praktik pembegalan dan peperangan dengan perampasan hasil alam. Keterbatasan
hasil alam membuat sekumpulan orang tertentu (suku) menguasai suku yang lain.
Praktik kesukuan menjadi praktik permainan kapital, sehingga wilayah itu mulai
memunculkan kasus-kasus praktik pengumpulan modal ekonomi dalam sejarah manusia
(kapitalisme). Kapitalisme awal inilah yang menjadi kondisi subur bagi
munculnya nabi baru yang membawa semangat kritis terhadap perilaku ekonomis
masyarakatnya.
Kemudian,
dalam hal ilmu pengetahuan, Jazirah Arab merupakan wilayah yang pesat dalam
mempelajari ilmu pengetahuan seperti belajar menulis dari simbol kemudian
menjadi bentuk-bentuk yang lebih sempurna hingga akhirnya berkembang menjadi
alfabeth, membuat rumah dengan batu sampai membuat rumah permanen, dan belajar
berkebun dengan menyirami tanaman yang tandus. Fenomena inilah yang mengubah
alih penerjemahan kata “Jahiliah”. Jadi kata “Jahiliah” bukanlah diartikan
sebagai bangsa yang bodoh dari segala bidang. Tetapi lebih di khususkan kepada
perilaku yang dilakukan pada kehidupan sehari-hari yang dirasa tidak
berperikemanusiaan dan tidak sesuai dengan tuntutan agama yang benar.
3. Bahasa
Bahasa
pertama adalah bahasa Semit. Tetapi lambat laun bahasa Semit-Hamit mengalami
perkembangan. Dengan demikian, istilah “Semit” lebih memiliki implikasi bahasa ketimbang
etnis, dan bahasa Assyria-Babilonia, Aramaik, Ibrani, Phonesia, Arab Selatan,
Etiopia, dan Arab harus dipandang sebagai dialek-dialek yang berkembang dari
satu jenis induk bahasa utama, yaitu Ursemitis. Hal serupa mungkin dapat dijumpai pada
bahasa-bahasa Romawi dalam hubungannya dengan bahasa Latin, dengan pengecualian
bahwa beberapa bentuk bahasa Latin masih bertahan, setidaknya dalam
kesusatraan, hingga hari ini, sementara bahasa asli Semit, bahasa percakapannya
sehari-hari kini telah punah, meskipun karakteristiknya secara umum bisa
dilihat dari berbagai aspek yang terdapat dalam bahasa-bahasa turunannya yang
masih bertahan.[29]
Bahasa
di jazirah Arab pra-Islam berkembang dalam bentuk kesusastraan lisan, dengan
banyaknya penyair. Posisi penyair di jazirah Arab sangat penting dalam
membentuk kebudayaan Arab sebelum turunnya al-Qur’an. Praktik kebahasaan itu
juga dapat dilihat pada masa setelah turunnya al-Qur’an, di mana persoalan
sosio-politik di jazirah Arab seringkali diselesaikan melalui ptaktik bahasa
(dalam hal ini sastra).
B. Kedudukan Al-Qur’an Sebelum diturunkan
Dalam
beberapa doktrim teologis dikatakan bahwa, sebelum diturunkan, al – Qur’an
telah tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz (QS. Al – Buruj : 21 -22). Lauh
Mahfudz adalah catatan gaib yang sangat besar, detail dan kompleks, tentang
segala sesuatu yang tercipta, baik yang ada, akan ada dan sudah tiada. Catatan
ini telah tertulis sejak zaman Azaly (zaman sebelum ada penciptaan).[30]
Dalam
studi-studi kritis wacana al – Qur’an (Nadzrah jadidah), keberadaan al –
Qur’an di Lauh al –Mahfudz ini disebut sebagai wujud ghaiby (wujud
gaib) al – Qur’an. Permasalahan ini masuk dalam kategori sam’iyyat (berita-berita
gaib) yang wajib diimani umat Islam apa adanya, tanpa mereka-reka hakikat
wujudnya. Dalam al – Qur’an, terma “Lauh al Mahfudz” ini hanya
disinggung sekali saja yaitu dalam QS. Al – Buruj : 22.
Beberapa
ilmuwan al – qur’an kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zaid, sementara menafsirkan
wujud ghaiby al Qur’an itu dalam metodologi pembahasannya. Hal ini
adalah untuk mempermudah terwujudnya penafsiran al Qur’an yang kontekstual. [31]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan
bahwa:
· Agama
yang dianut oleh Masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Qur’an atau sebelum
datangnya Islam adalah agama semit, mulai menyembah Tuhan Yahu (Yehwen –
Jehovah), menyembah dewa-dewa, menyembah berhala, agama Yahudi, dan agama
Kristen.
· Kehidupan
sosial yang terjadi sebelum datangnya Islam di Arab yaitu banyak terjadi
perampokan, makelar di mana-mana, pembegalan, semangat kesukuan, menyukai
perang antarsuku, serta banyaknya poligami dan poliandri. Pekerjaan masyarakat
Arab kala itu adalah pembiak hewan, petani, pedagang, dan pengrajin tangan.
Sedangkan budaya yang ada disana kala itu adalah pembuatan rumah batu, rumah
permanen, melakukan pengairan, dan latihan menulis.
· Bahasa
yang digunakan pada awalnya adalah bahasa ursemitis, yang kemudian menjadi
bahasa Arab.
B. Saran
Allah
telah memuliakan ummat Muhammad, karenanya Dia menurunkan kepadanya kitab yang
luar biasa, sebagai penutup dari kitab-kitab samawy, menjadi undang-undang
kehidupan, pemecah persoalan, tanda keagungan dan keluhuran sebagai umat
pilihan untuk bisa mengemban risalah samawiyah yang paling mulia, dimana Allah
memuliakannya dengan bekal kitab yang luhur ini dan diturunkan khusus kepada
seorang Rasul yang mulia Muhammad bin Abdullah. Dengan turunnya al – Qur’an ini
sempurnalah ikatan risalah samawiyah, terpancarlah sinar cahaya ke seluruh
penjuru dunia yang akhirnya sampailah petunjuk Allah itu kepada Makhluk-Nya. [32]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Sham Madyan.
2008. Peta Pembelajaran Al – Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad
Aly Ash Shabuny. 1996. Pengantar Study al – Qur’an (At- Tibyan). Bandung:
Alma’arif.
Philip
K. Hitti. 2010. History of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
M.
Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Hugh
D. Young dan Roger A. Freedman. 2002. Fisika Universitas. Jakarta:
Erlangga
Al-Qur’an
dan Kondisi Masyarakat Arab. Dikutip dari
http://adiyusfim.blogspot.com/2011/08/al-quran-dan-kondisi-masyarakat-arab.html
pada tanggal 14 Oktober 2012
[1] M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan
Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan).
Hlm 3
[2] Ibid. hlm 13
[3] Hugh D. Young dan Roger A.
Freedman. 2002. Fisika Universitas. (Jakarta: Erlangga). Hlm 107
[4]
Al-Qur’an dan Kondisi Masyarakat Arab. Dikutip dari http://adiyusfim.blogspot.com/2011/08/al-quran-dan-kondisi-masyarakat-arab.html
pada tanggal 14 Oktober 2012
[5] Philip K. Hitti. 2010. History
of The Arabs. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta). Hlm 3
[6] Ibid. Hlm. 108
[7] Ibid. Hlm 10 -11
[8] Ibid. Hlm 32
[9] Ibid. Hlm 13 – 14
[10] Ibid. Hlm 50
[11] Ibid. Hlm 75
[12] Ibid. Hlm 74 – 75
[13] Ibid. Hlm 75
[14] Ibid. Hlm 123
[15] Ibid. Hlm. 108
[16] Ibid. Hlm 28
[17] Ibid. Hlm 28-29
[18] Ibid. Hlm 30 -31
[19] Ibid. Hlm 34
[20] Ibid. Hlm 35
[21] Ibid. Hlm 60
[22] Ibid. Hlm 110
[23] Ibid. Hlm 12 - 13
[24] Ibid. Hlm 13
[25] Ibid. Hal 4
[26] Ibid. Hlm 87
[27] Ibid. Hlm 87
[28] Ibid. Hlm 113
[29] Ibid. Hlm 16
[30]
Ahmad Sham Madyan. 2008. Peta
Pembelajaran Al – Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 60
[31] Ibid. hlm 60 – 61
[32] Muhammad Aly Ash Shabuny. 1996. Pengantar
Study al – Qur’an (At- Tibyan). Bandung: Alma’arif. Hal 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar