Senin, 15 Oktober 2012

Konteks Sosio - Historis Sebelum Turunnya Al - Qur'an


Konteks Sosio-Historis Sebelum Turunnya al-Qur’an
(Studi Literatur Buku History of The Arabs Karangan Phillip K. Hitti)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi al-Qur’an dan Hadis: Teori dan Metodologi
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Mustaqim, M. Ag







Oleh
Ana Fitrotun Nisa
(1220420005)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH KONSENTRASI SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an Al-Karim, bacaan yang sempurna lagi mulia.[1] Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.[2]
Dalam hukum ketiga Newton disebutkan bahwa: ”Jika benda A memberikan gaya ada benda B (aksi), maka benda B akan memberikan gaya pada benda A (reaksi). Kedua gaya ini memiliki besar yang sama tetapi arah yang berlawanan. Kedua gaya ini bekerja pada benda yang berbeda”. Pada pernyataan ini, “aksi” dan “reaksi” merupakan dua gaya yang berlawanan; kadang-kadang kita menghubungkannya sebagai pasangan aksi reaksi (action-reaction pair).[3]
Hukum ketiga Newton di atas menyebutkan bahwa dimana ada aksi pasti ada reaksi. Begitu juga dengan asal muasal turunnya al-Qur’an, Allah menurunkan al-Qur’an bukanlah suatu hal yang kebetulan. Tetapi semua ini telah dirancang sedemikian rupa dengan proses yang telah diatur dengan sempurna pula. Turunnya al-Qur’an merupakan reaksi dari Allah atas aksi-aksi yang dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini. Aksi tersebut tergambar pada sejarah Arab pra–Islam atau sebelum turunnya al-Qur’an. Masa ini dikenal dengan masa Jahiliah. Ketika itu, masyarakat Arab banyak yang menyembah berhala, menyembah dewa-dewa, menyukai pertikaian antarsuku, banyaknya persengketaan, serta perampokan merajalela dimana-mana. Dari aksi-aksi tersebut di atas, maka Allah menurunkan al-Qur’an agar dijadikan sebagai petunjuk bagi kaum Muslim di dunia ini dalam menghadapi problem hidup, kemasyarakatan, peribadatan dan berbagai aspek lainnya.
Dalam makalah ini, penulis akan fokus membahas tentang sosio-historis masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an secara lebih detail dari aspek keagamaan atau kepercayaan yang dianut bangsa Arab sebelum turunnya al-Qur’an, sosial budaya, bahasa, dan lain sebagainya yang ada pada masa sebelum turunnya al-Qur’an. Dan penulis membatasi pembahasanya sampai datangnnya agama Islam di Arab.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an?
2.    Bagaimana keadaan sosial budaya yang terjadi di masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an?
3.    Bagaimana perkembangan bahasa yang terjadi di Arab sebelum turunnya al-Qur’an?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Mengetahui kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an.
2.    Mengetahui keadaan sosial budaya yang terjadi di masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an.
3.    Mengetahui perkembangan bahasa yang terjadi di Arab sebelum turunnya al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kondisi Masyarakat Arab Sebelum Turunnya al-Qur’an
Arab yang terletak di persimpangan tiga benua semenanjung Arab, menjadi tempat yang sangat mudah dikenal di dunia internasional. Jazirah ini dibatasi oleh Laut merah ke sebelah barat, teluk Persia ke sebelah timur, Lautan India ke sebelah selatan dan Suriah dan Mesopotamia ke sebelah utara.[4]
Sebagai tempat kelahiran rumpun Semit, Semenanjung Arab menjadi tempat menetap orang-orang yang kemudian bermigrasi ke wilayah Bulan Sabit Subur (wilayah Timur Tengah yang membentang dari Israel hingga teluk Persia termasuk di dalamnya sungai Tigris dan Efrat di Irak sekarang), yang kelak dikenal dalam sejarah sebagai bangsa Babilonia, Assyria, Phoenisia, dan Ibrani. Sebagai tempat munculnya tradisi Semit Sejati, wilayah gurun pasir Arab merupakan tempat lahirnya tradisi Yahudi, dan kemudian Kristen yang secara bersama-sama membentuk karakteristik rumpun Semit yang telah dikenal baik.[5]
Kondisi masyarakat Arab sebelum turunnya al-Qur’an sering disebut dengan masa Jahiliah. Istilah Jahiliah, yang biasa diartikan sebagai “masa kebodohan” atau “kehidupan barbar”, sebenarnya berarti bahwa ketika itu orang-orang Arab tidak memiliki otoritas hukum, nabi, dan kitab suci. Pengertian ini dipilih karena kita tidak bisa mengatakan bahwa masyarakat arab yang berbudaya dan mampu baca tulis seperti masyarakat Arab Selatan disebut sebagai masyarakat bodoh dan barbar.[6] Mengenai keadaan masyarakat Arab Selatan akan dibahas lebih mendalam pada sub bab berikutnya.

1.    Agama dan Kepercayaan
Semenanjung Arab merupakan tempat kelahiran rumpun Semit. Istilah Semit berasal dari kata syem yang tertera pada Perjanjian Lama (Kitab Kejadian, 10:1) Penjelasan tradisional yang menyebutkan bahwa rumpun bangsa Semit adalah keturunan anak-Nuh yang tertua.[7] Masyarakat  pada masa kehidupan Badui banyak yang hidup nomaden. Kondisi alam, dan pola hubungan antara masyarakat yang terjalin sangat mempengaruhi pemikiran dan gagasan mereka tentang Tuhan, agama, dan spiritualitas. Dasar-dasar agama-agama Semit berkembang di oasis-oasis, bukan di daratan berpasir, dan berpusat di wilayah yang berbatu dan bermata air, dalam Islam diwakili dengan simbol Hajar Aswad dan sumur Zamzam, serta dengan Bethel dalam Perjanjian lama.[8]
Jadi agama pertama yang ada di Semenanjung Arab adalah agama Semit, meskipun lambat laun kata Semit ini berubah arti menjadi bukan agama. Agama ini telah memiliki pusat seperti agama-agama pada masa kini. Bisa di katakan pemusatan-pemusatan atau simbol-simbol yang ada dalam agama saat ini adalah warisan dari suku Semit. 
Suku berikutnya adalah suku Ibrani. Antara 1500 – 1200 SM, bangsa Ibrani berhasil menemukan jalan ke Suriah bagian selatan, palestina dan bangsa Aramia (orang-orang Suriah) ke sebelah utara, terutama Coele-Suriah (Dataran rendah Suriah, al-Biqa’ modern, terletak antara dua Libanon). Diantara bangsa-bangsa lain, bangsa Ibrain merupakan bangsa pertama yang memperkenalkan gagasan yang jelas tentang satu Tuhan, dan monoteismenya merupakan cikal bakal keyakinan orang Kristen dan Islam.[9] Sekitar 1225 SM suku Ibrani melakukan perjalanan dari Mesir menuju Palestina. Suku Ibrani (Rachel) menetap untuk sementara di Sinai dan Nufud selama kurang lebih 40 tahun. Musa (Kepala suku Ibrani) menikah dengan seorang wanita arab, anak perempuan seorang pendeta Madyan, penyembah Yehwah yang memerintahkan Musa untuk menyebarkan agama baru. Yahu (Yehwen – Jehovah) sepertinya merupakan Tuhan suku Madyan atau penduduk Arab Utara. Ia adalah Tuhan orang-orang gurun, sederhana namun tegas. Ia bertempat tinggal di sebuah tenda dan ritualnya sama sekali tidak rumit. Sesembahannya berupa makanan dan kurban binatang gurun serta sesajen yang dibakar ditengah-tengah binatang ternak.[10]
Pada masa kerajaan Himyar, agama di Arab Selatan pada dasarnya adalah sebuah sistem perbintangan yang memuja dan menyembah dewa bulan. Bulan yang disebut Sin oleh orang-orang di Hadramaut, Wadd (Cinta atau pecinta, atau ayah) oleh orang-orang Minea, Almaqah (Tuhan pemberi kesehatan) oleh orang-orang Saba, ‘Amm (paman dari jalur Ayah) oleh orang-orang Qataban, merupakan simbol paling sakral yang di puja di kuil mereka. Bulan dianggap sebagai dewa laki-laki dan kedudukannya lebih tinggi dari matahari, Syams, yang merupakan pasangannya. ‘Atstar (Venus mirip dengan Tuhan perempuan orang Babilonia, yaitu Isytar, atau ‘Asytart menurut orang-orang Phoenisia), anak-anak mereka adalah  anggota ketiga dari tiga serangkai itu. Dari pasangan benda langit ini lahir benda-benda langit lain yang dianggap sebagai Tuhan. Tuhan orang-orang Arab Utara, al-Lat yang disebutkan dalam al-Qur’an mungkin merupakan nama lain dari Tuhan Matahari.[11] Saat kerajaan Himyar kedua, salah satu Rajanya yang bernama Abu Karib As’ad Kamil, atau Abi Kariba As’ad (sekitar 385 – 420 M) yang diriwayatkan telah menaklukkan Persia dan kemudian memeluk agama Yahudi. Periode Himyar yang terakhir ini ditandai dengan diperkenalkannya agama Yahudi dan Kristen ke Yaman.[12]
Tradisi kepercayaan menyembah dewa ini dapat dikatakan sebagai wujud rasa syukur mereka kepada kesehatan yang diberikan untuk tuhan pemberi kesehatan, rasa syukut atas sinar matahari yang diberikan untuk tuhan matahari, rasa syukur atas tumbuh suburnya tanaman anggur untuk Tuhan Anggur, dan Tuhan-tuhan lainnya. Ini dilakukan sebelum mereka menyadari bahwa Tuhan pencipta alam semesta ini hanyalah satu atau Esa, yaitu Allah SWT. 
Agama Kristen mazhab Monofisit (bahwa Isa memiliki sifat tunggal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu ia mengandung unsur Tuhan sekaligus unsur Manusia) perlahan-lahan mulai terdesak di utara, terutama di Suriah, pada masa-masa paling awal. Duta Kristen pertama ke Arab Selatan sepanjang yang kita baca diutus oleh Raja Constantius pada 356 dibawah pimpinan Theophilus Indus, seorang Aria, Theophilus berhasil membangun sebuah gereja di ‘Adan (Aden) dan dua gereja lainnya di daerah Himyar. Najran, yang mulai mengenal agama Kristen Madzab Monofisit yang dibawa oleh seorang pendakwah dari Suriah bernama Taymiyun (Phemion), memeluk agama baru ini di sekitar 500 Masehi.[13]
Kristen monofisit ini merupakan agama kristen pertama yang ada di Arab, yang memiliki keyakinan adanya Tuhan. Tetapi Tuhan mereka masih berbentuk manusia. Mereka menganggap bahwa Isa memiliki sifat tunggal yang orang lain tidak memilikinya sehingga mereka mengatakan bahwa Tuhan mereka adalah Isa.
Keadaan Hijaz menjelang kelahiran Islam dijelaskan bahwa tahap pemujaan terhadap benda-benda langit muncul sejak lama. Al-‘uzza, al-lat dan Manat – tiga anak perempuan Allah- memiliki tempat pemujaannya masing-masing yang di sakralkan di daerah yang kemudian menjadi tempat kelahiran Islam.[14] Karena keinginannya yang kuat untuk memalingkan masyarakat dari gagasan-gagasan keagamaan pra – Islam, terutama tentang penyembahan berhala, Muhammad yang menganut paham monoteisme akhirnya mendeklarasikan bahwa agama baru yang ia bawa menghapus semua agama sebelumnya. Belakangan, hal itu dimaknai sebagai bentuk larangan terhadap gagasan dan cita-cita pra-Islam. Meski demikian, gagasan-gagasan yang sudah tumbuh tidak mudah untuk dihilangkan, dan satu suara saja tidak cukup kuat untuk menghilangkan masa lalu.[15] Agama yang dianut oleh orang Arab, setelah agama Yunani dan Kristen adalah Islam.
Dari deskripsi diatas, dapat kita simpulkan bahwa agama yang cinta akan perdamaian adalah agama Islam. Islam tidak mencintai kekerasan apalagi pertikaian seperti agama lain yang telah didiskripsikan diatas. Islam menghargai perbedaan pendapat, perbedaan faham dan kepercayaan, dan tidak memusuhi orang yang berbeda pandangan. Begitulah keadaan masyarakat sebelum datangnya Islam terlebih sebelum di turunkannya al-Qur’an.

2.        Sosial – Budaya
Orang-orang Badui nomaden dikenal sebagai para perampok darat atau makelar, atau keduanya sekaligus. Gurun pasir, yang merupakan daerah operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.[16] Mereka enggan mengikuti pengaruh cara hidup asing; memilih untuk bertahan tinggal di tenda bulu domba atau bulu unta, dan menggembala domba atau kambing mereka dengan cara yang sama di padang rumput yang sama. Pembiakan domba, unta, kuda, berburu dan menyergap merupakan pekerjaan utama mereka, dan bagi mereka dianggap sebagai satu-satunya pekerjaan terhormat bagi kaum laki-laki. Pertanian, juga semua bentuk perdagangan dan kerajinan tangan dianggap akan menurunkan derajat mereka. Jika, dan ketika tidak lagi terikat pada lingkungan sekitar, mereka tidak lagi disebut sebagai orang nomad. Di wilayah Bulan Sabit Subur, berbagai kerajaan muncul dan tenggelam silih berganti, tetapi di gurun pasir yang tandus orang-orang badui masih tetap sama.[17]
Salah satu fenomena penting yang dimunculkan oleh pola relasi antar-suku di kawasan Semenanjung arab adalah maraknya peristiwa pembegalan, atau perampokan terhadap kafilah, atau perkemahan suku lain. Ghazw (serbuan kilat, atau razia), bila tidak dipandang sebagai organisasi bandit liar, dibentuk berdasarkan kondisi sosial-ekonomi kehidupan gurun hingga menjadi semacam institusi sosial. Razia dan perompakan merupakan fondasi struktur ekonomi masyarakat badui penggembala. Di kawasan gurun pasir, tempat semangat peperangan dianggap sebagai kondisi mental yang kronis, serangan kilat merupakan salah satu dari beberapa pekerjaan laki-laki. Suku-suku Kristen, seperti Bani Taghlib, juga mempraktikkan kebiasaan itu secara terang-terangan. Seorang penyair pada masa Umayyah, al-Qutaami, mengungkapkan prinsip yang menuntun kehidupan semacam itu dalam dua bait syairnya: “Pekerjaan kita adalah menyerang musuh, tetangga dan saudara kita sendiri, jika kita tidak menemukan orang lain untuk kita serang kecuali saudara kita sendiri”.[18]
Kuatnya semangat dan ikatan kesukuan memunculkan satu jenis semangat yang dikenal dengan sebutan ‘ashabiyyah (semangat kesukuan). Ia mengisyaratkan loyaitas suka rela dan tanpa syarat kepada anggota sukunya dab secara umum mirip dengan partiotisme yang bersifat fanatik san chauvanistik. “Setialah kepada suku kalian” ucap seorang penyair, “pengakuan kepada para anggotanya cukup kuat sehingga dapat memaksa seorang suami menyerahkan  istrinya.  Partikularisme yang tumbuh kokoh dalam suku ini, ketika sikap individualisme setiap anggota suku diagungkan, memandang bahwa suku merupakan unit yang berdiri sendiri, swasembada dan absolut, serta memandang suku lainnya sebagai mangsa dan sasaran yang sah untuk dihina dan dibunuh.[19]
Seorang wanita badui, pada masa islam atau pra-Islam, menikmati kebebasan yang lebih luas daripada sesamanya yang tinggal di perkotaan. Ia hidup dalam sebuah keluarga yang mempraktikkan poligami dan sistem perkawinan yang memuja laki-laki-setiap laki-laki merupakan tuan- tapi ia tetap bebas memilih calon suaminya dan meninggalkannya jika diperlakukan tidak patut.[20]
Inilah fenomena yang dikatakan sebagai masa jahiliah, karena mereka melakukan kemaksiatan dimana-mana seperti yang telah disabdakan Allah dalam QS. Al- Ahzab: 33 yang berbunyi:
tbös%ur Îû £`ä3Ï?qãç/ Ÿwur šÆô_§Žy9s? ylŽy9s? Ïp¨ŠÎ=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# šúüÏ?#uäur no4qŸ2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ߃̍ムª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# Ÿ@÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãƒur #ZŽÎgôÜs? ÇÌÌÈ  
Artinya: “(33). Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam. [1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah SAW.
                       
Dalam ayat di atas Allah menggambarkan bahwa tingkah laku orang-orang pada masa Jahiliah adalah buruk, sehingga Allah melarang kita untuk mengikutinya. Mereka yang tidak melakukan Sholat, tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, melakukan kemaksiatan suka berhias diri, dan tidak melakukan zakat. Dan Allah tidak menyukai perbuatan-perbuatan yang tersebut di atas, namun Allah Maha Pemurah, yang selalu dapat memaafkan dosa-dosa hambanya jika mereka benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh Allah tersebut. 
Menurut Strabo dalam Phillip K. Hitti mengisahkan bahwa di Arab selatan praktik poliandri – sejumlah saudara laki-laki menikahi seorang wanita yang sama- merupakan fenomena umum, bahwa penduduknya terbiasa menikah dengan keluarga dekat, dan bahwa mereka memuliakan saudara tertua- setiap orang tertua akan menjadi pemimpin. [21]
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan “Hari-hari orang Arab” (ayyam al – Arab). Ayyam al – Arab merujuk pada permusuhan antarsuku yang secara umum muncul akibat perkengketaan seputar hewan ternak, padang rumput,  atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecam diantara para penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. [22]
Untuk bidang budaya, dimulai sekitar 3500 SM, bangsa Semit melakukan migrasi mengikuti rute ini, atau mengambil rute ke utara menuju Afrika Utara. Di sana mereka bercampur dengan penduduk Hamit yang lebih dulu tinggal di Mesir. Dari percampuran ini lahir bangsa Mesir. Mereka ini lah yang pertama kali membangun hunian dari batu dan mengembangkan sistem kalender matahari. Migrasi serupa juga mengarah ke utara dan membangun basis hunian di lembah Tigris- Efrat, yang sudah lebih dulu dihuni oleh masyarakat berperadaban tinggi, yaitu bangsa Sumeria. Bangsa Semit tiba di lembah tersebut sebagai bangsa nomad barbar, tapi kemudian belajar dari bangsa Sumeria, pendiri peradaban sungai Efrat, bagaimana cara membangun dan tinggal dirumah, bagaimana cara mengairi tanah, dan paling penting, bagaimana cara menulis. Bangsa Sumeria adalah bangsa non Semit. Campuran kedua ras itulah yang melahirkan bangsa Babilonia, yang bersama-sama bangsa Mesir telah meletakkan formasi kebudayaan manusia. Di antara penemuan-penemuan lainnya, bangsa Babilonia telah mewariskan kepada kita struktur lengkungan (arch) dan lorong (vault), kereta beroda, serta sistem timbangan dan ukuran.[23]
Orang-orang Phoenisia adalah bangsa pertama yang menyebarkan sistem penulisan dengan huruf, yang terdiri atas 33 simbol. Satu penemuan terbesar umat manusia.[24]  Bangsa Arab memasukkan ke dalam ajaran, bahasa, dan bahkan postur tubuh mereka berbagai unsur asing, termasuk budaya Yunani, Romawi, Anglo-Saxon, ata Rusia. Mereka juga menyerap dan memadukan beragam unsur budaya Yunani – Romawi; berperan sebagai pembawa gerakan intelektual ke Eropa abad Pertengahan yang memicu kebangkitan dunia Barat dan melapangkan jalan bagi proses modernisasi di dunia Barat. [25]
Bada abad ketiga Masehi, tulisan kursif orang-orang Nabasia, yang berasal dari bahasa Aramaik, berkembang menjadi tulisan Arab Utara, yaitu tulisan bahasa Arab al- Qur’an dan bahasa Arab yang dikenal hari ini. Lebih khususu lagi tulisan ini berkembang menjadi bentuk tulisan Naskh yang bulat-bulat, berbeda dengan tulisan Kufi – diambil dari kata Kufah- yang kubis dan kaku. Gaya tulisan Kufi secara khusus pernah menjadi model penulisan al-Qur’an, dokumen resmi, monumen serta tulisan pada mata uang terdahulu. Salah satu tulisan Arab tertua adalah tulisan yang terdapat di Namarah, sebelah selatan Hauran, yang berasal dari 328 M, yang ditulis di atas batu nisan Imru’ al –Qays, seorang raja Lakhmi dari Hirah.[26]
Semenanjung Sinai, yang berdekatan dengan tanah air orang-orang Nabasia dan tempat turunnya Sepuluh Perintah Tuhan, pada tahun-tahun belakangan menghasilkan tulisan alfabetis, mungkin yang tertua yang pernah kita temukan. Tulisan-tulisan itu ditemukan di Sarabith al – Khadim dan dibawa ke Musium Kairo.[27]
Orang Arab tidak menciptakan dan mengembangkan sendiri sebuah bentuk kesenian besar. Watak seni mereka dituangkan kedalam satu media: ungkapan. Jika orang-orang Yunani mengungkapkan daya seninya terutama dalam bentuk patung dan arsitektur, orang-orang arab menuangkannya dalam bentuk-bentuk syair (qashidah)  dan orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu keagamaan (psalm), sebuah bentuk ungkapan estetis yang lebih halus. “Keelokan seseorang” demikian menurut meribahasa Arab “terletak pada kefasihan lidahnya”. “kebijaksanaan” menurut peribahasa yang muncul belakangan, “muncul dalam tiga hal: otak orang Prancis, tangan orang China, dan lidah orang Arab”. Kefasihan yaitu kemampuan untuk mengungkapkan jatidiri secara tegas dan elegan dalam bentuk prosa dan puisi, berikut kemampuan memanah dan menggunakan kuda pada masa Jahiliah dipandang sebagai tiga ciri utama “manusia sempurna” (al – Kamil).[28]
Kesenian-kesenian inilah yang kemudian di bawa oleh para pedagang Arab yang melakukan perdagangan sampai ke Indonesia. Bentuk-bentuk syair indah yang disebut juga qasidah  yang hingga saat ini menjadi icon bagi umat Muslim Indonesia yang sering di lantunkan oleh kaum muslim di surau-surau, pondok pesatren, mushola, bahkan di masjid-masjid besar.
Jazirah arab di masa pra kenabian Muhammad adalah wilayah tandus namun mempunyai dinamika ekonomi yang kompleks. Kehidupan ekonomi yang dimotori oleh praktik perdagangan, membawa potensi masalah baru bagi peradaban itu. Minimnya sumber daya alam pada waktu itu membuat ptaktik ekonomi kotor menjadi tradisi dan kebiasaan masyarakat, dan bahkan dianggap sebagai hukum sosial ekonomi, seperti praktik pembegalan dan peperangan dengan perampasan hasil alam. Keterbatasan hasil alam membuat sekumpulan orang tertentu (suku) menguasai suku yang lain. Praktik kesukuan menjadi praktik permainan kapital, sehingga wilayah itu mulai memunculkan kasus-kasus praktik pengumpulan modal ekonomi dalam sejarah manusia (kapitalisme). Kapitalisme awal inilah yang menjadi kondisi subur bagi munculnya nabi baru yang membawa semangat kritis terhadap perilaku ekonomis masyarakatnya.
Kemudian, dalam hal ilmu pengetahuan, Jazirah Arab merupakan wilayah yang pesat dalam mempelajari ilmu pengetahuan seperti belajar menulis dari simbol kemudian menjadi bentuk-bentuk yang lebih sempurna hingga akhirnya berkembang menjadi alfabeth, membuat rumah dengan batu sampai membuat rumah permanen, dan belajar berkebun dengan menyirami tanaman yang tandus. Fenomena inilah yang mengubah alih penerjemahan kata “Jahiliah”. Jadi kata “Jahiliah” bukanlah diartikan sebagai bangsa yang bodoh dari segala bidang. Tetapi lebih di khususkan kepada perilaku yang dilakukan pada kehidupan sehari-hari yang dirasa tidak berperikemanusiaan dan tidak sesuai dengan tuntutan agama yang benar.
3.      Bahasa
Bahasa pertama adalah bahasa Semit. Tetapi lambat laun bahasa Semit-Hamit mengalami perkembangan. Dengan demikian, istilah “Semit” lebih memiliki implikasi bahasa ketimbang etnis, dan bahasa Assyria-Babilonia, Aramaik, Ibrani, Phonesia, Arab Selatan, Etiopia, dan Arab harus dipandang sebagai dialek-dialek yang berkembang dari satu jenis induk bahasa utama, yaitu Ursemitis.  Hal serupa mungkin dapat dijumpai pada bahasa-bahasa Romawi dalam hubungannya dengan bahasa Latin, dengan pengecualian bahwa beberapa bentuk bahasa Latin masih bertahan, setidaknya dalam kesusatraan, hingga hari ini, sementara bahasa asli Semit, bahasa percakapannya sehari-hari kini telah punah, meskipun karakteristiknya secara umum bisa dilihat dari berbagai aspek yang terdapat dalam bahasa-bahasa turunannya yang masih bertahan.[29]
Bahasa di jazirah Arab pra-Islam berkembang dalam bentuk kesusastraan lisan, dengan banyaknya penyair. Posisi penyair di jazirah Arab sangat penting dalam membentuk kebudayaan Arab sebelum turunnya al-Qur’an. Praktik kebahasaan itu juga dapat dilihat pada masa setelah turunnya al-Qur’an, di mana persoalan sosio-politik di jazirah Arab seringkali diselesaikan melalui ptaktik bahasa (dalam hal ini sastra).

B.       Kedudukan Al-Qur’an Sebelum diturunkan
Dalam beberapa doktrim teologis dikatakan bahwa, sebelum diturunkan, al – Qur’an telah tersimpan dalam Lauh al-Mahfudz (QS. Al – Buruj : 21 -22). Lauh Mahfudz adalah catatan gaib yang sangat besar, detail dan kompleks, tentang segala sesuatu yang tercipta, baik yang ada, akan ada dan sudah tiada. Catatan ini telah tertulis sejak zaman Azaly (zaman sebelum ada penciptaan).[30]
Dalam studi-studi kritis wacana al – Qur’an (Nadzrah jadidah), keberadaan al – Qur’an di Lauh al –Mahfudz ini disebut sebagai wujud ghaiby (wujud gaib) al – Qur’an. Permasalahan ini masuk dalam kategori sam’iyyat (berita-berita gaib) yang wajib diimani umat Islam apa adanya, tanpa mereka-reka hakikat wujudnya. Dalam al – Qur’an, terma “Lauh al Mahfudz” ini hanya disinggung sekali saja yaitu dalam QS. Al – Buruj : 22.
Beberapa ilmuwan al – qur’an kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zaid, sementara menafsirkan wujud ghaiby al Qur’an itu dalam metodologi pembahasannya. Hal ini adalah untuk mempermudah terwujudnya penafsiran al Qur’an yang kontekstual. [31]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
·      Agama yang dianut oleh Masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Qur’an atau sebelum datangnya Islam adalah agama semit, mulai menyembah Tuhan Yahu (Yehwen – Jehovah), menyembah dewa-dewa, menyembah berhala, agama Yahudi, dan agama Kristen. 
·      Kehidupan sosial yang terjadi sebelum datangnya Islam di Arab yaitu banyak terjadi perampokan, makelar di mana-mana, pembegalan, semangat kesukuan, menyukai perang antarsuku, serta banyaknya poligami dan poliandri. Pekerjaan masyarakat Arab kala itu adalah pembiak hewan, petani, pedagang, dan pengrajin tangan. Sedangkan budaya yang ada disana kala itu adalah pembuatan rumah batu, rumah permanen, melakukan pengairan, dan latihan menulis.
·      Bahasa yang digunakan pada awalnya adalah bahasa ursemitis, yang kemudian menjadi bahasa Arab.

B.  Saran
Allah telah memuliakan ummat Muhammad, karenanya Dia menurunkan kepadanya kitab yang luar biasa, sebagai penutup dari kitab-kitab samawy, menjadi undang-undang kehidupan, pemecah persoalan, tanda keagungan dan keluhuran sebagai umat pilihan untuk bisa mengemban risalah samawiyah yang paling mulia, dimana Allah memuliakannya dengan bekal kitab yang luhur ini dan diturunkan khusus kepada seorang Rasul yang mulia Muhammad bin Abdullah. Dengan turunnya al – Qur’an ini sempurnalah ikatan risalah samawiyah, terpancarlah sinar cahaya ke seluruh penjuru dunia yang akhirnya sampailah petunjuk Allah itu kepada Makhluk-Nya. [32]
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sham Madyan. 2008. Peta Pembelajaran Al – Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhammad Aly Ash Shabuny. 1996. Pengantar Study al – Qur’an (At- Tibyan). Bandung: Alma’arif.
Philip K. Hitti. 2010. History of The Arabs. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Hugh D. Young dan Roger A. Freedman. 2002. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga
Al-Qur’an dan Kondisi Masyarakat Arab. Dikutip dari





[1] M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al- Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan). Hlm 3
[2] Ibid. hlm 13
[3] Hugh D. Young dan Roger A. Freedman. 2002. Fisika Universitas. (Jakarta: Erlangga). Hlm 107
[4] Al-Qur’an dan Kondisi Masyarakat Arab. Dikutip dari http://adiyusfim.blogspot.com/2011/08/al-quran-dan-kondisi-masyarakat-arab.html pada tanggal 14 Oktober 2012
[5] Philip K. Hitti. 2010. History of The Arabs. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta). Hlm 3
[6] Ibid. Hlm. 108
[7] Ibid. Hlm 10 -11
[8] Ibid. Hlm 32
[9] Ibid. Hlm 13 – 14
[10] Ibid. Hlm 50
[11] Ibid. Hlm 75
[12] Ibid. Hlm 74 – 75
[13] Ibid. Hlm 75
[14] Ibid. Hlm 123
[15] Ibid. Hlm. 108
[16] Ibid. Hlm 28
[17] Ibid. Hlm 28-29
[18] Ibid. Hlm 30 -31
[19] Ibid. Hlm 34
[20] Ibid. Hlm 35
[21] Ibid. Hlm 60
[22] Ibid. Hlm 110
[23] Ibid. Hlm 12 - 13
[24] Ibid. Hlm 13
[25] Ibid. Hal 4
[26] Ibid. Hlm 87
[27] Ibid. Hlm 87
[28] Ibid. Hlm 113
[29] Ibid. Hlm 16
[30] Ahmad Sham Madyan. 2008. Peta Pembelajaran Al – Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 60
[31] Ibid. hlm 60 – 61
[32] Muhammad Aly Ash Shabuny. 1996. Pengantar Study al – Qur’an (At- Tibyan). Bandung: Alma’arif. Hal  55 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar